Refleksi Intoleransi

Pada tulisan ‘Sapiens: Sebijak Namanya’, saya sudah membahas terdapat dua teori yang menjelaskan kenapa hanya Homo sapiens saja yang masih mendiami planet biru ini. Kemana saudara-saudara seper-genus-an Sapiens yang lain? Teori pertama adalah skenario dimana Sapiens yang muncul di awal-awal melakukan pembinasaan terhadap spesies yang lain, sedangkan teori kedua bercerita tentang Sapiens yang melakukan persilangan dengan spesies lain. Dua teori yang terkesan saling bertolak-belakang dan kedua-duanya memiliki argumen yang cukup kuat, baik secara ilmiah maupun secara common sense.

Kali ini kita akan fokus pada teori genosida dimana Sapiens yang memiliki keunggulan dalam bepikir, berkomunikasi, dan mengorganisir mampu mengalahkan kawanan spesies lain yang rata-rata memiliki kondisi fisik yang lebih baik dibanding Sapiens. Motivasi terbesar yang mungkin muncul di benak Sapiens untuk melakukan hal keji ini dapat dirangkum dalam satu kutipan yang paling saya sukai di buku Yuval Noah Harari:

“Mereka terlalu nyata untuk diabaikan, tetapi terlalu berbeda untuk ditoleransi.”

Sederhananya adalah masalah perbedaan. Tapi toh masih banyak spesies lain yang jauh lebih berbeda tetapi kenapa tidak diberlakukan demikian juga? Jawabannya saya sudah berikan dengan pengandaian mereka masih ada dan melakukan hal-hal aneh di tepi jalan, seperti buang air bahkan melakukan hubungan seksual. Jika itu kucing atau kambing mungkin kita bisa santai, tapi jika itu spesies se-genus itu adalah masalah. Perasaan jengkel melihat suatu makhluk yang hampir mirip dengan kita tapi berperilaku jauh di bawah kita.

Kira-kira begitu pengilustrasian kenapa nenek-moyang kita dahulu mungkin melakukan genosida terhadap spesies-spesies tersebut. Namun munculnya perbedaan ini lahir bukan salah Sapiens, bukan juga salah ‘mereka’. Ini adalah konsekuensi dari sesuatu yang lebih besar dari Sapiens dan seluruh makhluk hidup, sesuatu yang diluar jangkauan kita; evolusi.

Kita sudah mengenal evolusi bahkan jauh sebelum Darwin mempublikasikan ‘Origin of the Species’-nya. Ilmuwan Yunani kuno, ilmuwan Arab, dan ilmuwan Eropa sudah memiirkan evolusi dengan cara yang berbeda-beda. Darwin dan Mendel hanya penyempurna sedikit dari petualangan ini melalui seleksi alam dan genetika. Namun keinsafan bahwa adanya perbedaan yang muncul bukan karena kuasa manusia masih sulit untuk dijangkau.

Mungkin memang benar saat itu Sapiens telah berdiri sendiri, menjadi pewaris tunggal ke-Homo-an. Sayangnya Sapiens tidak lahir dalam satu cetak biru yang sama (begitu juga spesies lain), urusan tentang berbeda belum usai. Salah satu yang menjadi agenda manusia selama ratusan tahun adalah tentang warna kulit, dimana kulit gelap seringkali mendapatkan jatah yang di bawah dalam ranah sejarah. Mungkin tidak ada agenda yang benar-benar menjadikan urusan ini menjadi seperti skenario teori pertama tadi, syukurnya tidak. Karena kita masih agak sadar bahwa tidak ada hal aneh yang dilakukan mereka, hanya urusan berbeda fitur, tapi tetap butuh lama untuk menuju keinsafan.

Sejarah mulai menuliskan cerita-cerita tentang perjuangan kesetaraan hak terhadap perbedaan ini, dari Mekah hingga Amerika dan Afrika. Sekalipun belum benar-benar sirna, tetapi kita mulai belajar bahwa perbedaan ini muncul dari sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang diluar kendali kita.

Apakah keinsafan akan hal ini sudah benar-benar merasuki tiap insan? Besar kemungkinan iya. Tak ada lagi alasan untuk saling membinasakan atau merendahkan karena perbedaan fitur, semuanya adalah sesuatu yan diluar kendali kita.

Cerita lain ternyata dimulai, berbarengan dengan Sapiens yang mengidetifikasikan dirinya pada sesuatu, ada perbedaan baru yang ‘dimunculkan’. Ketika Sapiens telah berkumpul dalam satu kepemimpinan, mereka membentuk suku, kerajaan, dan imperium. Ketika mereka menyembah Dzat yang lebih besar kuasa-Nya, mereka membentuk agama, mazhab, sekte. Dan seterusnya, dan seterusnya. Perbedaan yang ‘dimunculkan’, tidak lagi dari seleksi alam ataupun genetika.

Pertanyaannya adalah apakah dengan milestone seperti ini kita tetap menanggapi perbedaan artifisial ini sama dengan perbedaan yang lahir bukan karena kehendak manusia sendiri tadi? Di titik kritisnya mungkin jawabannya adalah tidak, motivasi untuk membinasakan yang lain akan muncul lagi. Sepertinya, memang dari sananya kita terbiasa untuk harus berusaha keras memaklumi dan menginsafi perbedaan.

Melihat kejadian di akhir-akhir ini, ketakutan yang disebarkan di berbagai penjuru, kekhawatiran yang dirasakan di tiap tempat singgah membuat kita berpikir lagi tentang teori pertama yang di awal-awal disebutkan tadi. Mungkin Anda seperti saya di awaknya, menolak dan berpikiran tidak mungkin Sapiens sekejam itu. Tapi coba lirik kesekitar, jangan jauh-jauh.

Manusia belumlah sepenuhnya terbebas dari urusan ini. Sedang untuk perbedaan yang hadir atas kehendak kita saja kita belum dapat rela menerimanya, apalagi untuk perbedaan yang di alami nenek-moyang kita dahulu. Pembelajaran harus masih terus berlanjut, atau tergantikan dengan yang lebih ahsan.

Ditulis di bandara Soekarno-Hatta,

menuju rumah, semoga selamat.

Leave a comment