Undangan Pak Rektor dan Menjadi Manusia Indonesia

Hari ini, 1 September 2017, adalah hari yang bahagia. Bukan saja karena merupakan suka cita Idul Adha, tetapi juga momen-momen yang mengiringinya. Di awali dengan sholat ‘Ied dan dilanjutkan khutbah yang menarik. Terhitung 32 kali disebut kata “cinta”, tentang mencintai, yang mencintai, dan yang dicintai, tentang Ibrahim dan Tuhannya. Saya rasa ini adalah salah satu khutbah yang indah, ketika biasaya khutbah hari raya dijadikan momen untuk refleksi terhadap kondisi negeri, pemerintahan, dan pelik masalah-masalahnya, menyebabkan suasana menjadi getir dan perlu banyak pikir, khutbah kali ini malah cukup membawa kita ke kejadian indah di masa silam dengan Ibrahim, Sang Kekasih Allah, sebagai aktor utama beserta keteladanannya. Khutbah ideal yang melengkapi indahnya hari ini.

Cerita selanjutnya adalah tentang Pak Rektor ITB yang mengadakan Open House dan mengundang serta seluruh mahasiswa ITB untuk berkujung ke rumahnya untuk mencicipi hidangan yang disediakan. Mungkin pembaca dari kampus lain juga mengikuti acara “silaturahmi” yang sama bersama rektornya. Dan mungkin juga memikirkan hal yang sama dengan tulisan berikut.
dokumentasi pribadi
Setelah kurang lebih dua jam bersama yang lainnya mengular sampai ke jalan, akhirnya saya sampai di depan prasmanan. Sialnya ternyata penantian belum berakhir karena prasmanan kosong, kami harus menunggu sampai wadah diisi kembali dengan nasi, ayam, ataupun daging. Sambil menunggu inilah saya mendapatkan suatu penyadaran bahwa Pak Rektor telah berhasil mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa ITB (pastinya tidak semua), kami datang sebagai manusia Indonesia. Selanjutnya tulisan ini ku tulis dahulu didalam pikiran sambil senyum-seyum menunggu nasi, ayam, dan daging yang tak kujung datang.
Menarik sekali disini, melihat kami sebangsa mahasiswa ITB berpadu di satu halaman rumah yang tidak terlalu besar. Ku perhatikan, kami seperti meninggalkan identitas yang biasanya dibanggakan atau status yang menjadi halangan hal-hal yang “landasannya tidak kuat” atau “manfaatnya tidak banyak” dan alasan-alasan konstruktif, kritis, dan sedikit pragmatis lainnya.
Jika mau dipikir-pikir lagi, mereka yang hadir bukanlah mahasiswa-mahasiswa kelaparan, kesehariannya juga makan ayam yang lebih nikmat dari ayam open house ini, biasanya juga makan lebih puas dari pada porsi terbanyak yang mungkin diambil di rumah Pak Rektor. Tapi mengapa harus berdesak-desakan sekarang? Sepandankah waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk mengantre dengan yang di dalam prasmanan?
Ku lihat lagi sekeliling. Ku temukan orang yang dikenal bijak dan wibawa karena menjadi menteri di kabinet atau kepala unit. Ku juga temukan kepala-kepala yang dikenal kritis dan memandang segala sesuatu harus dengan data. Ku juga temukan teman yang biasanya lebih memilih diam di tempat dan menanyakan “ngapain ikutan?”. Tak lupa juga mereka-mereka yang sedang mengalami ospek jurusan dan membersamai peng-ospek-nya. Oh ya, begitu juga sang peneriak “bisa ngantre gak sih, Mas?” yang ikut dalam barisan dan ‘terciduk’ sesekali menerobos. Tentu ada tawa dan cerita disini.
Ketika jaket kebanggaan ataupun kaos kehormatan ditinggalkan, digantikan dengan gamis, koko, kemeja warna-warni atau apanpun pakaian yang dianggap terbaik untuk melekat di hari agung ini. Tak perlu lagi bertanya dia dari himpunan apa, golongan mana, dan lulus tahun berapa. Apalagi judul TA-nya.
Aah, pemandangan yang luarbiasa.
Tulisan ini hanyalah ungkapan rasa bahagia seorang mahasiswa biasa terhadap satu fenomena berkumpulnya elemen-elemen mahasiswa kampusnya tanpa membawa arogansi dan kepentingan seperti biasanya. Mungkin kita memang harus sejenak meninggalkan perspektif umum kita tersebut untuk kembali menjadi manusia Indonesia. Yang ramah, penuh cinta dan tak akan menyia-nyiakan undangan makan. Tapi tentu saja ini bukan cuma tentang makan dan makanan, tapi juga tentang membersamai manusia Indonesia lainnya.
Terimakasih, Pak Rektor! Atas undangannya dan memberi kami waktu sejenak menjadi manusia Indonesia (lagi).

2 thoughts on “Undangan Pak Rektor dan Menjadi Manusia Indonesia

Leave a comment