Aal Izz Well (Epsilon-Delta vs Kabut Asap)

Sebenarnya banyak sekali sesuatu yang menarik dan ada juga yang ’seharusnya’ menarik. Sebagai mahasiswa tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal yang ‘masuk ujian’ adalah yang menarik perhatian, walupun banyak yang mengatakan “kuliah bukan untuk ujian”, toh mereka tetap juga gak bakalan mau main-main dengan ujian. Tetapi dosen matematika saya, Pak Aleams Barra, pernah menyampaikan kepada kelas kami ketika materi Rigorous Study of Limits (biasanya kita sebut sebagai epsilon-delta) bahwa walaupun materi ini gak masuk ujian, bukan berarti kita tidak boleh menikmatinya. Lalu beiau menganalogikan dengan musik yang juga tidak masuk ujian tetapi kita tetap juga menikmatinya. Menurut saya ini analogi yang sangat tepat. Tepat sekali..
sumber: Calculus 9th Edition (Varberg, Purcell, Rigdon) halaman 65
Di atas adalah salah satu contoh dari epsilon-delta yang menjadi fenomena bagi mereka yang tanpa sadar pernah berpacaran dengan Kalkulus 1. Lihat saja bagaimana teman-teman saya ini ketika mendengar kata “kita perlu membuktikan…”, apa yang dipikirkan tak lain hanya epsilon-delta. Apalagi ketika nama epsilon-delta disebut langsung, seolah-olah kita seperti murid-murid di Hogwart mendengar nama Lord Voldemort, langsung gaduh. Walaupun materi ini sudah lewat beberapa minggu, tetapi masih tetap jadi topik menarik, bahkan mungkin sampai ada yang bilang bakal jadikan epsilon-delta sebagai nama anaknya kelak. Luarviasa….
Lalu kenapa sih epsilon-delta begitu berkesan di hati kita? Kok bisa kita dari sekedar ”menikmati” (dengan tanda kutip) lalu kini menjadi benar-benar menikmati (tanpa tanda kutip?
Jawabnya ada di ujung langit, kita kesana dengan seorang anak, anak yang tangkas dan juga pemberani…. Bertarunglah mahasiswa, dengan segala kemampuan yang ada!
*maaf
Mungkin kita bisa sepakat jika ada anak kecil yang tangkas dan pemberani itu diberi mainan baru yang belum pernah sebelumnya ia lihat, ia raba, ia trawang maka sangat mungkin mainan itu sangat ‘menyentuh hatinya’ sehingga mengabaikan mainan lain dan bahkan lingkungan sekitarnya. Bisa jadi kita adalah salah satu dari anak kecil itu, dan bisa jadi epsilon-delta adalah mainan baru kita sehingga kita mengabaikan lingkungan sekitar kita, mengabaikan negeri yang katanya sekepal tanah surga padahal di surga tidak ada kabut asap.
Ya, kabut asap Sumatera dan Kalimantan yang kabarnya juga singgah di negeri sebrang. Tema yang tidak setenar epsilon-delta padahal sama-sama tidak masuk ujian. Seharusnya kita juga bisa ‘menikmatinya’ seperti epsilon-delta dan musik. Sekali lagi, itu cuma seharusnya, karena jujur saya pun tidak bisa ‘menikmati’nya lebih dari epsilon-delta. Keinginan untuk mulai membahas kabut asap muncul tidak dari awal kejadian kabut asap, kira-kira ketika Sungai Penuh mulai mendekati puncak-puncaknya kabut asap. Yah, awalnya karena kabut asap di Sungai Penuh bukanlah mainan baru, jadi saya seperti tidak terlalu menanggapi bencana tersebut karena berpikiran “nanti akan hilang juga, aal izz well”.
“Tanpa matahari, tanpa awan biru, melainkan hanya kabut asap yang tersisa”
-Saka Anyana-
Saya mulai tersadar ketika sahabat saya menanyakan ketika makan di kantin Salman  “Kamu gak balik ke Sumatera, Bal?”. Dengan spontan dan penuh kepolosan saya menjawab kalaupun saya pulang, apa sih yang bisa saya lakukan, ditambah lagi biaya yang tak murah dan surat izin yang tak mudah. Pembicaraan pun berlanjut ke topik lain, tetapi saya masih kepikiran kok benar juga yang dibilang sahabat saya itu. Kok saya bisa santai-santai disini, sedangkan dulu katanya insan akademis itu insan yang gak bisa tidur memikirkan rakyatnya. Boro-boro memikirkan rakyat, ini orang tua dan saudara sendiri di Sungai Penuh gak kepikiran. Insan akademis macam apa kitasaya ini? Bahkan hanya untuk meng-upload postingan ini pun ditunda-tunda, padahal alamat URL-nya udah ganti jadi www.miqbalrp.com (apa hubungannya?)
Memang problem ini tidak semudah epsilon-delta. Kita perlu melakukan analisis pendahuluan sehingga mendapatkan hubungan yang tepat antara epsilon-delta. Lalu hubungan ini dapat dibuktikan secara formal. Begitupun untuk respon kita terhadap kabut asap ini. Dengan pikiran saya yang pendek, saya dan sahabat-sahabat ingin memberikan bantuan yang dananya dikumpul sukarela dari satu fakultas. Tetapi atas saran dari pihak-pihak lain yang berpikiran jika gerakan ini dapat dilakukan dengan massa yang lebih besar, why not
Jika idenya adalah langsung memberi bantuan, bisa kita analogikan bahwa kita langsung ke tahap bukti formal dengan solusi (memberi suatu bantuan) yang datang tiba-tiba tanpa analisis pendahuluan. Nah, oleh salah satu unsur penting di KM lebih memilih melakukan analisis pendahuluan terlebih dahulu agar mendapatkan solusi yang benar-benar dibutuhkan. Memang hal inilah yang harus dilakukan, tidak seperti pikiran pendek saya yang mungkin tidak dibutuhkan oleh mereka.
Tetapi analisis pendahuluan itu gak mudah, bray. Walaupun orang hanya akan fokus pada bukti formalnya saja, tetapi analisis pendahuluanlah MVP-nya. Namun, kabut asap tidak dapat kita kontrol berapa lama jangka waktunya. Ya iyalah! Kalau bisa pasti kita maunya lebih cepat. Dan itulah masalahnya, kabut asap tidak akan menunggu untuk hilang setelah analisis penahuluan kita selesai. Di Sungai Penuh pun kabar terakhir sudah mulai berangsur hilang, tapi besoknya muncul lagi lebih parah, begitu terus sampai sekarang hilang timbul. Jadinya saya bingung kapan sebaiknya meng-upload postingan ini, ketika masih parah-parahnya, atau ketika sudah reda, atau ketika analisis pendahuluan kita selesai?
Mungkin beberapa tidak setuju dengan saya dan mengatakan “ah, kamu cuma bisa ngomong, Bal!” Maaf, bro. Saya gak cuma ngomong, saya juga nulis. Dan juga memang benar jika omongan dan usulan satu orang anak kecil seperti saya tidak dapat didengar, tetapi bagaimana jika anak-anak kecil lain dari Sungai Penuh, Jambi, Palembang, Riau, Kalimantan dan semua yang terkena asap juga ngomong dan merengek, pasti akan didengar “orang-orang dewasa” disana. Setidaknya, sekarang dengan bangga saya menyatakan kita belumtidak belum berhasil dan masih saja berharap semuanya memang benar-benar aal izz well .
***

Alhamdulillah, KM-ITB mengadakan suatu penggalangan dana yang bekerjasama dengan berbagai elemen terkait, bagi yang ingin berpartisipasi ayo simak info berikut:

[Penggalangan Dana Kebakaran Hutan Sumatra & Kalimantan]
Sudah bertahun tahun saudara kita di Riau, Jambi, Sumsel & Kalimantan harus dilanda hujan asap setiap musim kemarau datang. Sudah beberapa hari ini mereka harus menghirup polusi udara sangat berbahaya yang dapat mengancam kesehatan pernapasan dan sangat mengganggu aktifitas keseharian.
Apakah kita hanya bisa berpangku tangan?
Tunjukkan kepedulian kita dengan berbagi rejeki dan doa yang kita miliki untuk mereka!
Penggalangan Dana Via Rekening
Rek Bank Mandiri  900-00-1902-585-8 a/n Rabbi Pandu A
1130006600518 a/n Fathan Mubina
Bank BNI
383314578 a/n Intan Trilestari Soelistyo
Bank BRI
484201001215533 a/n Fahrul Husaini
Bantuan akan disalurkan secara adil ke daerah yang terpapar bencana asap.
Himpunan Mahasiswa Rekayasa Kehutanan “Selva” ITB
Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam – Ganesha
Unit Kebudayaan Melayu Riau ITB
Keluarga Mahasiswa Jambi
Unit Kesenian Kalimantan
Unit Kesenian Mahasiswa Bumi Sriwijaya
Kementrian Manajemen Lingkungan dan Kementrian Kajian Strategis Kabinet KM-ITB 2015
#DanaPeduliSumatraKalimantan
#KM-ITB
#BersamaLuarBiasa
(sumber: KM-ITB)

    16 thoughts on “Aal Izz Well (Epsilon-Delta vs Kabut Asap)

    1. anak ITB tuh kalo dari luar emg keliatan 'lambat' geraknya, tapi sebenernya di dalem kita nganalisis kondisi sama kebutuhan Bal, biar outputnya bukan cuma sekedar solusi buat saat ini, tapi jg sekaligus penyelesaian jangka panjang. nicely written!

      Like

    2. Tulisannya keren! Semoga kita sebagai mahasiswa bisa benar-benar berpikir (menganalisis) masalah yang ada dulu, lalu baru bertindak dengan capaian yang tidak instan, melainkan output yang lebih bersifat jangka panjang. Sukses terus kedepannya!

      Like

    Leave a comment